Memilikimu
adalah salah satu anugerah terbesar yang Allah berikan untukku. Sebuah
kebahagian yang tak pernah dapat digantikan. Engkau adalah satu-satunya
lelaki yang aku cintai sejak aku membuka mata hingga nanti aku terlelap
dalam pelukan bumi. Bersama hari yang terus berganti, aku mencintaimu
semakin dalam. Ayah... Engkaulah satu-satunya pria yang memberikan aku
cinta sejati. Memberikan aku sedikit ruang di antara rasa benci kala aku
terjerembab dalam khilaf yang menyakitkan hati. Ayah... Engkaulah
satu-satunya pria yang tak pernah henti membuat aku percaya bahwa
keajaiban itu selalu ada dalam langkah-langkah kecil yang Allah
ciptakan. Ayah... Jika engkau bertanya apa yang aku impikan saat ini,
aku akan menjawab dengan sangat yakin, aku ingin membuatmu tersenyum
setiap hari. Seperti engkau yang selalu menghangatkan hati. Ayah.. jika
engkau bertanya apa yang ingin aku lakukan saat ini, aku akan menjawab,
aku ingin melakukan apa yang bisa ku lakukan agar gurat-gurat lelah di
wajahmu tergantikan oleh senyum secerah matahari. Ayah.. Ketika gengaman
tanganmu terlepas dariku, aku akan mencoba menggapainya lagi. Sekali
pun itu sulit, aku akan terus berlari. Mengejarmu... Merengkuhmu...
Memelukmu dengan erat. Seperti hari itu, ketika engkau tak pernah
melepaskan putri kecilmu dan membiarkan ia merasa sendirian.
AYAH, sosok lelaki yang sudah berkepala empat itu adalah seseorang yang telah memberi dan mengajarkan saya tentang banyak hal.
Ia
adalah tempat saya mencari rasa aman, tempat saya bermanja-manja,
tempat saya mengadukan segala beban yang menyesakan dada, tempat saya
meminta, dan tempat saya kembali ketika saya merasa begitu sepi. Ayah
saya bukanlah seseorang yang memiliki segalanya. Tetapi Ayah saya adalah
seseorang yang mencoba memenuhi segala kebutuhan keluarganya. Dulu,
ketika saya masih kanak-kanak, saya sering merasa bahwa Ayah tidak
benar-benar sayang pada saya hanya karena Ayah tidak memberikan apa yang
saya inginkan. Ayah tidak selalu menuruti kemauan saya, membiarkan saya
merajuk, atau bahkan menangis. Tapi hari ini, saya tersadar, Ayah
melakukan itu agar saya tidak tumbuh dan berkembang menjadi anak yang
egois, mau menang sediri tanpa mau mengerti keadaan orang lain, dan
menjadi anak manja yang semua keinginannya harus dituruti.
Ketika
saya tumbuh menjadi seorang remaja, Ayah menjaga saya dengan cukup
ketat. Tidak ada keluar malam atau keluyuran tidak jelas. Saat itu, saya
sempat berpikir bahwa Ayah tidak mengerti pergaulan remaja masa kini.
Merasa bahwa Ayah memperlakukan saya seperti perempuan zaman dahulu yang
hanya beraktifitas di dalam rumah. Bayangkan, ketika tahun baru datang,
ayah menyuruh saya pulang tepat jam sepuluh malam. Sebelum kembang api
menghiasi pekatnya langit malam. Tapi saat ini, saya sudah paham, Ayah
melakukan itu semua bukan karena ia tidak paham akan pergaulan remaja
masa kini. Justru karena Ayah sangat tahu pergaulan remaja saat ini,
Ayah mencoba menjaga putrinya agar tidak terjerembab dalam lubang yang
akan membuat putri kecil dan dirinya menyesal. Ayah melakukan itu untuk
saya, untuk masa depan saya, utuk kebaikan saya. Semuanya untuk saya.
Dan
ketika saya beranjak dari masa remaja, Ayah mencoba memberikan saya
kepercayaan dan tanggung jawab. Entah seperti apa isi hati Ayah ketika
ia harus melepaskan putri sulungnya yang mengenyam pendidikan di Ibu
Kota. Dulu, Ayah bisa memantau saya kapan saja. Menanyakan saya pergi
kemana, dengan siapa, pulang pukul berapa, dan sekarang sedang dimana
untuk menebus rasa cemasnya. Ayah bisa dengan cepat mengompres kening
saya ketika saya demam, membawa saya ke Dokter ketika sakit saya tak
kunjung sembuh. Tapi sekarang, ketika saya dan Ayah dipisahkan oleh
jarak yang cukup jauh, Ayah hanya bisa sesekali menelpon untuk
menanyakan kabar dan mengingatkan saya akan kewajiban yang saya
jalankan. Ayah juga selalu mengingatkan saya untuk menjaga kesehatan
karena Ayah tahu, saya bukanlah gadis yang memiliki daya tahan tubuh
yang kuat. Mungkin, dalam hati Ayah, rasa cemas dan rindu itu bercampur
aduk hingga membuatnya sesak. Saya mencoba menebak-nebak, benarkah
demikian?
Saat
jauh dari Ayah, saya sering dihinggapi oleh perasaan rindu dan kesepian
yang menyesakan. Tak banyak waktu yang kami punya untuk bertukar
cerita, tertawa bersama, menonton film-film yang membuat kami terbahak,
berdiskusi, atau hanya sekedar menikmati kopi dari satu mug yang sama.
Terkadang, saya dihinggapi perasaan khawatir akan keadaan Ayah yang jauh
berada disana. Saya merasa takut Ayah menghilang tiba-tiba atau saya
tidak dapat lagi bertemu dengannya. Dalam setiap sujud saya, bersama
doa-doa yang saya rapal, saya meminta padaNya. "Ya Rabb... Jagalah Ia
seperti ia menjagaku dengan sepenuh hatinya. Lingdungi Ia, berikan ia
kesehatan Ya ALLAH. Jagalah Ayahku untukku, jauhkan dari segala
marabahaya." Dan dalam akhir doa yang aku panjatkan, aku selalu berucap
"AMIN".
Ayah
sudah memberikan saya banyak hal hingga saya dapat menjadi diri saya
yang sekarang. Mungkin, saat ini saya belum dapat melakukan apapun untuk
membahagiakannya dan membuatnya bangga. Tetapi saya sudah berjanji pada
diri saya sendiri, saya akan melakukan segalanya dengan semua kemampuan
yang ada untuk membuatnya bahagia dan merasa bangga. Ayah memang tidak
pernah menuntut banyak, Ayah hanya meminta saya belajar dengan
sungguh-sungguh, berusaha semaksimal mungkin, menjalankan kewajiban saya
dengan benar, dan menjaga kepercayaan yang ia berikan. Ayah selalu
menyemangati saya ketika saya mulai merasa lelah dan hampir menyerah.
Ayah selalu memberikan saya pilihan, membiarkan saya memilih, dan
membantu saya menentukan pilihan ketika saya tak dapat memilih
persimpangan mana yang harus saya lalui. Saya percaya, apapun yang Ayah
pilihkan, itulah yang terbaik. Karena seorang Ayah tidak akan pernah mau
melihat putri/ putranya gagal. Ia selalu ingin anak-anaknya menjadi
orang yang lebih baik darinya. Ia ingin, putrinya mendapatkan apa yang
tidak bisa ia berikan. Ayah saya selalu bilang, " Ayah cuma mau
anak-anak Ayah menjadi orang yang paling nggak, lebih dari orang tuanya.
Kalau sekarang Ayah nggak bisa ngasih apa yang kamu mau, Ayah mau
berharap kamu bisa beli sendiri apa yang nggak bisa Ayah kasih." Dan
kalimat itu sudah terpatri di dalam hati.
Saya
dan Ayah mencoba menghadapi masa sulit bersama-sama. Mungkin, ini
adalah salah satu hikmah, saya dan Ayah menjadi sahabat yang saling
berbagi. Mendengarkan dan didengarkan. Kami selalu mencoba untuk
terbuka. Saling menguatkan satu sama lain. Mencoba mengingatkan, mencoba
saling memahami, dan mencoba saling menguatkan. Ayah selalu
mengingatkan saya untuk tetap fokus pada kuliah saya saat ini, ia tak
ingin saya terusik akan permasalahan yang kini kami hadapi. Bagi saya,
Ayah adalah sosok yang tegar. Sosok yang begitu menginspirasi dan
membuat saya begitu bangga padanya. Ayah adalah sosok yang mengajarkan
saya apa arti mencintai, menunggu, memaafkan, dan memberi.
Memaafkan
adalah memberi sedikit ruang diantara rasa benci. Mencintai adalah
ketika yang lain pergi, ia masih berdiri untuk mendampingi. Menunggu
adalah ketika ia pergi dan tak tahu kapan akan kembali, ia masih menanti
dengan rasa percaya bahwa suatu saat ia yang dicintai akan kembali.
Sekalipun rasa sakit menjalari hati. Memberi adalah ketika engkau
membagi apa yang engkau miliki meskipun ia yang engkau beri
mengacuhkanmu seraya berdiam diri. Bagiku, ketika Ayah terluka, saya
merasakan sakitnya. Ketika Ayah merasa kecewa, saya ikut merasakan
perihnya. Ayah adalah sosok yang kuat. Saya tahu, ada kesedihan yang
tersimpan di balik senyum dan tawanya. Ada luka yang ia sembunyikan dari
kami sekedar untuk menguatkan kami agar tetap berjalan diatas badai
yang sedang menerpa. Saya ingin membuat Ayah saya bahagia. Menyembuhkan
luka di hatinya, menyeka air mata yang diam-diam membasahi pipinya. Saya
ingin membuat Ayah saya bahagia, tersenyum dan tertawa. Benar-benar
senyum dan tawa bahagia. Bukan senyum dan tawa pura-pura. Saya sangat
mencintai dan menyayangi Ayah saya. Meski saya tidak bisa
menyampaikannya dengan baik, tapi hati saya selalu berkata, Aku
menyayangimu Ayah... Sampai nanti, Sampai aku menutup mata. Dan
engkaulah satu-satunya.
Aku
ingin memelukmu Ayah. Mendekapmu seperti ketika engkau menenangkan aku
dari ketakutanku kala malam. Aku ingin menggenggam tangamu dan tak lagi
aku lepaskan Ayah, agar engkau tak lagi merasa sendirian. Aku memang
tidak bisa membuatmu bahagia seperti yang aku inginkan, tapi aku sudah
berjanji pada diriku sendiri Ayah, untukmu... aku akan berjuang hingga
titik darah penghabisan. Ayah... Senyummu adalah teduh untukku yang
dilanda kemarau panjang. Engkau adalah tempat dimana aku mengadu
melepaskan beban. Tapi, berbagilah padaku Ayah. Biarkan aku ikut
merasakan apa yang engaku pikul di atas bahumu. Aku tak ingin engkau
merasa sesak, Ayah. Aku ingin meringankan sedikit beban yang membuatmu
begitu ringkih. Ceritakan saja padaku apa yang ingin engkau ceritakan,
aku akan berlaku sebagai pendengar yang baik. Seperti dulu, ketika aku
berceloteh panjang dan engkau mendengarkan dengan seksama tanpa pernah
menyela. Rebahkan kepalamu diatas bahuku Ayah. Biarkan.. Biarkan aku
belajar untuk menjadi sekuat engkau.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar