Pages

Subscribe:

Labels

Blogger templates

Minggu, 29 April 2012

Ayah ^_^

Memilikimu adalah salah satu anugerah terbesar yang Allah berikan untukku. Sebuah kebahagian yang tak pernah dapat digantikan. Engkau adalah satu-satunya lelaki yang aku cintai sejak aku membuka mata hingga nanti aku terlelap dalam pelukan bumi. Bersama hari yang terus berganti, aku mencintaimu semakin dalam. Ayah... Engkaulah satu-satunya pria yang memberikan aku cinta sejati. Memberikan aku sedikit ruang di antara rasa benci kala aku terjerembab dalam khilaf yang menyakitkan hati. Ayah... Engkaulah satu-satunya pria yang tak pernah henti membuat aku percaya bahwa keajaiban itu selalu ada dalam langkah-langkah kecil yang Allah ciptakan. Ayah... Jika engkau bertanya apa yang aku impikan saat ini, aku akan menjawab dengan sangat yakin, aku ingin membuatmu tersenyum setiap hari. Seperti engkau yang selalu menghangatkan hati. Ayah.. jika engkau bertanya apa yang ingin aku lakukan saat ini, aku akan menjawab, aku ingin melakukan apa yang bisa ku lakukan agar gurat-gurat lelah di wajahmu tergantikan oleh senyum secerah matahari. Ayah.. Ketika gengaman tanganmu terlepas dariku, aku akan mencoba menggapainya lagi. Sekali pun itu sulit, aku akan terus berlari. Mengejarmu... Merengkuhmu... Memelukmu dengan erat. Seperti hari itu, ketika engkau tak pernah melepaskan putri kecilmu dan membiarkan ia merasa sendirian.

AYAH, sosok lelaki yang sudah berkepala empat itu adalah seseorang yang telah memberi dan mengajarkan saya tentang banyak hal. Ia adalah tempat saya mencari rasa aman, tempat saya bermanja-manja, tempat saya mengadukan segala beban yang menyesakan dada, tempat saya meminta, dan tempat saya kembali ketika saya merasa begitu sepi. Ayah saya bukanlah seseorang yang memiliki segalanya. Tetapi Ayah saya adalah seseorang yang mencoba memenuhi segala kebutuhan keluarganya. Dulu, ketika saya masih kanak-kanak, saya sering merasa bahwa Ayah tidak benar-benar sayang pada saya hanya karena Ayah tidak memberikan apa yang saya inginkan. Ayah tidak selalu menuruti kemauan saya, membiarkan saya merajuk, atau bahkan menangis. Tapi hari ini, saya tersadar, Ayah melakukan itu agar saya tidak tumbuh dan berkembang menjadi anak yang egois, mau menang sediri tanpa mau mengerti keadaan orang lain, dan menjadi anak manja yang semua keinginannya harus dituruti. 

Ketika saya tumbuh menjadi seorang remaja, Ayah menjaga saya dengan cukup ketat. Tidak ada keluar malam atau keluyuran tidak jelas. Saat itu, saya sempat berpikir bahwa Ayah tidak mengerti pergaulan remaja masa kini. Merasa bahwa Ayah memperlakukan saya seperti perempuan zaman dahulu yang hanya beraktifitas di dalam rumah. Bayangkan, ketika tahun baru datang, ayah menyuruh saya pulang tepat jam sepuluh malam. Sebelum kembang api menghiasi pekatnya langit malam. Tapi saat ini, saya sudah paham, Ayah melakukan itu semua bukan karena ia tidak paham akan pergaulan remaja masa kini. Justru karena Ayah sangat tahu pergaulan remaja saat ini, Ayah mencoba menjaga putrinya agar tidak terjerembab dalam lubang yang akan membuat putri kecil dan dirinya menyesal. Ayah melakukan itu untuk saya, untuk masa depan saya, utuk kebaikan saya. Semuanya untuk saya.


Dan ketika saya beranjak dari masa remaja, Ayah mencoba memberikan saya kepercayaan dan tanggung jawab. Entah seperti apa isi hati Ayah ketika ia harus melepaskan putri sulungnya yang mengenyam pendidikan di Ibu Kota. Dulu, Ayah bisa memantau saya kapan saja. Menanyakan saya pergi kemana, dengan siapa, pulang pukul berapa, dan sekarang sedang dimana untuk menebus rasa cemasnya. Ayah bisa dengan cepat mengompres kening saya ketika saya demam, membawa saya ke Dokter ketika sakit saya tak kunjung sembuh. Tapi sekarang, ketika saya dan Ayah dipisahkan oleh jarak yang cukup jauh, Ayah hanya bisa sesekali menelpon untuk menanyakan kabar dan mengingatkan saya akan kewajiban yang saya jalankan. Ayah juga selalu mengingatkan saya untuk menjaga kesehatan karena Ayah tahu, saya bukanlah gadis yang memiliki daya tahan tubuh yang kuat. Mungkin, dalam hati Ayah, rasa cemas dan rindu itu bercampur aduk hingga membuatnya sesak. Saya mencoba menebak-nebak, benarkah demikian?


Saat jauh dari Ayah, saya sering dihinggapi oleh perasaan rindu dan kesepian yang menyesakan. Tak banyak waktu yang kami punya untuk bertukar cerita, tertawa bersama, menonton film-film yang membuat kami terbahak, berdiskusi, atau hanya sekedar menikmati kopi dari satu mug yang sama. Terkadang, saya dihinggapi perasaan khawatir akan keadaan Ayah yang jauh berada disana. Saya merasa takut Ayah menghilang tiba-tiba atau saya tidak dapat lagi bertemu dengannya. Dalam setiap sujud saya, bersama doa-doa yang saya rapal, saya meminta padaNya. "Ya Rabb... Jagalah Ia seperti ia menjagaku dengan sepenuh hatinya. Lingdungi Ia, berikan ia kesehatan Ya ALLAH. Jagalah Ayahku untukku, jauhkan dari segala marabahaya." Dan dalam akhir doa yang aku panjatkan, aku selalu berucap "AMIN".


Ayah sudah memberikan saya banyak hal hingga saya dapat menjadi diri saya yang sekarang. Mungkin, saat ini saya belum dapat melakukan apapun untuk membahagiakannya dan membuatnya bangga. Tetapi saya sudah berjanji pada diri saya sendiri, saya akan melakukan segalanya dengan semua kemampuan yang ada untuk membuatnya bahagia dan merasa bangga. Ayah memang tidak pernah menuntut banyak, Ayah hanya meminta saya belajar dengan sungguh-sungguh, berusaha semaksimal mungkin, menjalankan kewajiban saya dengan benar, dan menjaga kepercayaan yang ia berikan. Ayah selalu menyemangati saya ketika saya mulai merasa lelah dan hampir menyerah. Ayah selalu memberikan saya pilihan, membiarkan saya memilih, dan membantu saya menentukan pilihan ketika saya tak dapat memilih persimpangan mana yang harus saya lalui. Saya percaya, apapun yang Ayah pilihkan, itulah yang terbaik. Karena seorang Ayah tidak akan pernah mau melihat putri/ putranya gagal. Ia selalu ingin anak-anaknya menjadi orang yang lebih baik darinya. Ia ingin, putrinya mendapatkan apa yang tidak bisa ia berikan. Ayah saya selalu bilang, " Ayah cuma mau anak-anak Ayah menjadi orang yang paling nggak, lebih dari orang tuanya. Kalau sekarang Ayah nggak bisa ngasih apa yang kamu mau, Ayah mau berharap kamu bisa beli sendiri apa yang nggak bisa Ayah kasih." Dan kalimat itu sudah terpatri di dalam hati.
    Saya dan Ayah mencoba menghadapi masa sulit bersama-sama. Mungkin, ini adalah salah satu hikmah, saya dan Ayah menjadi sahabat yang saling berbagi. Mendengarkan dan didengarkan. Kami selalu mencoba untuk terbuka. Saling menguatkan satu sama lain. Mencoba mengingatkan, mencoba saling memahami, dan mencoba saling menguatkan. Ayah selalu mengingatkan saya untuk tetap fokus pada kuliah saya saat ini, ia tak ingin saya terusik akan permasalahan yang kini kami hadapi. Bagi saya, Ayah adalah sosok yang tegar. Sosok yang begitu menginspirasi dan membuat saya begitu bangga padanya. Ayah adalah sosok yang mengajarkan saya apa arti mencintai, menunggu, memaafkan, dan memberi.
    Memaafkan adalah memberi sedikit ruang diantara rasa benci. Mencintai adalah ketika yang lain pergi, ia masih berdiri untuk mendampingi. Menunggu adalah ketika ia pergi dan tak tahu kapan akan kembali, ia masih menanti dengan rasa percaya bahwa suatu saat ia yang dicintai akan kembali. Sekalipun rasa sakit menjalari hati. Memberi adalah ketika engkau membagi apa yang engkau miliki meskipun ia yang engkau beri mengacuhkanmu seraya berdiam diri. Bagiku, ketika Ayah terluka, saya merasakan sakitnya. Ketika Ayah merasa kecewa, saya ikut merasakan perihnya. Ayah adalah sosok yang kuat. Saya tahu, ada kesedihan yang tersimpan di balik senyum dan tawanya. Ada luka yang ia sembunyikan dari kami sekedar untuk menguatkan kami agar tetap berjalan diatas badai yang sedang menerpa. Saya ingin membuat Ayah saya bahagia. Menyembuhkan luka di hatinya, menyeka air mata yang diam-diam membasahi pipinya. Saya ingin membuat Ayah saya bahagia, tersenyum dan tertawa. Benar-benar senyum dan tawa bahagia. Bukan senyum dan tawa pura-pura. Saya sangat mencintai dan menyayangi Ayah saya.  Meski saya tidak bisa menyampaikannya dengan baik, tapi hati saya selalu berkata, Aku menyayangimu Ayah... Sampai nanti, Sampai aku menutup mata. Dan engkaulah satu-satunya.
     Aku ingin memelukmu Ayah. Mendekapmu seperti ketika engkau menenangkan aku dari ketakutanku kala malam. Aku ingin menggenggam tangamu dan tak lagi aku lepaskan Ayah, agar engkau tak lagi merasa sendirian. Aku memang tidak bisa membuatmu bahagia seperti yang aku inginkan, tapi aku sudah berjanji pada diriku sendiri Ayah, untukmu... aku akan berjuang hingga titik darah penghabisan. Ayah... Senyummu adalah teduh untukku yang dilanda kemarau panjang. Engkau adalah tempat dimana aku mengadu melepaskan beban. Tapi, berbagilah padaku Ayah. Biarkan aku ikut merasakan apa yang engaku pikul di atas bahumu. Aku tak ingin engkau merasa sesak, Ayah. Aku ingin meringankan sedikit beban yang membuatmu begitu ringkih. Ceritakan saja padaku apa yang ingin engkau ceritakan, aku akan berlaku sebagai pendengar yang baik. Seperti dulu, ketika aku berceloteh panjang dan engkau mendengarkan dengan seksama tanpa pernah menyela. Rebahkan kepalamu diatas bahuku Ayah. Biarkan.. Biarkan aku belajar untuk menjadi sekuat engkau.

0 komentar: